Berita  

“Titipan Bung Karno untuk Prabowo: Apa yang Dilakukan di PBB yang Mengejutkan Indonesia”?

“Titipan Bung Karno untuk Prabowo: Apa yang Dilakukan di PBB yang Mengejutkan Indonesia”?

Presiden Prabowo bertolak ke New York, Amerika Serikat, untuk berpidato di depan Sidang Majelis Umum PBB (SMU-PBB), pada 23 September 2025. Sudah sepuluh tahun presiden Indonesia tidak hadir dalam pertemuan puncak pemimpin dunia itu. Terbilang sudah beberapa presiden Indonesia yang berpidato di PBB. Tapi hanya pidato Bung Karno yang menggemparkan dunia. Pidatonya berjudul To Build the Wolrd Anew, membangun dunia kembali, disampaikan di SMU-PBB, 30 September 1960. Betapa tidak, pidato itu disampaikan pada timing yang pas betul dengan suasana batin politik internasional kala itu. Dunia terbelah dalam dua kutub politik-ideologis. Bung Karno menolak tata dunia yang tidak adil itu.

Namun, yang paling monumental adalah ketika Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai fondasi etis universal atau landasan moral dan etika (moral and ethics platform) bagi seluruh bangsa di dunia jika menginginkan perdamaian dunia. Ditakar dengan mood politik dunia saat itu, gagasan Bung Karno itu sungguh visionary dan berani. Bayangkan, pemimpin negara belia yang baru merdeka 15 tahun bicara soal tata dunia baru. Mereka memandang negara-negara bekas jajahan hanya bisa mengais remah-remah kolonialisme untuk membangun negaranya. Tapi tidak dengan Indonesia. Justru Bung Karno menawarkan pedoman berisi nilai-nilai universal yang dapat mengurangi ketegangan akibat rivalitas ideologis.

Pidato Bung Karno menyuarakan jeritan hati negara berkembang yang masih terjajah dan baru merdeka. Pidato itu seolah menguntai benang merah sejarah dari Bandung-sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955-hingga ke PBB, New York, 1960. Sejarah terus berputar dengan segala dinamikanya. Tragisnya, apa yang dikhawatirkan Bung Karno puluhan tahun lalu justru sekarang masih menghantui dunia. Bahkan dengan ragam dan kompleksitas permasalahan yang lebih rumit. Tatkala dunia masih menyaksikan hubungan antarbangsa lebih banyak dilakukan dengan pendekatan logika kekuasaan (real politics) dan dikalkulasi secara cash and carry, PBB menyadari perlunya mengedepankan tanggung jawab global, moralitas, dan nilai-nilai etika sebagai kompas dalam hubungan antarnegara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *