
Revisi UU TNI menuai polemik. Kalangan masyarakat sipil menolak Revisi UU TNI untuk menjaga supremasi sipil. Hal pertama yang menjadi persoalan adalah perpanjangan masa pensiun TNI ketika terdapat kelebihan perwira tinggi dalam daftar susunan personel (DSP). Kemudian, Revisi UU TNI dinilai bertentangan dengan supremasi sipil dengan adanya pro-kontra penambahan daftar kementerian dan lembaga yang boleh diisi oleh TNI. Hal yang menjadi permasalahan utama adalah adanya kalimat “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden” yang tercantum dalam Pasal 47 draf dari Baleg DPR, walaupun kini kabarnya sudah dihapus.
Selama 27 tahun terakhir, sudah terdapat progres dalam supremasi sipil, terutama dalam politik elektoral. Pilkada 2024 kemarin menjadi salah satu contohnya. Berdasarkan studi CSIS (2025), pada Pilkada 2024 lalu hanya 8,11% gubernur dan 2,7% wakil gubernur yang berlatar belakang TNI-Polri. Angka tersebut terpaut jauh dari kepala daerah yang berlatar belakang anggota DPR (13,51% gubernur dan 24,3% wakil gubernur) serta bupati (13,51% gubernur dan 18,92% wakil gubernur). Dengan begitu, kompetisi politik pada era Reformasi memberikan peluang kepada mereka yang lebih dulu memiliki pengalaman elektoral ketimbang pengalaman sebagai perwira aktif. Hal ini merupakan sebuah progres mengingat pada era Orde Baru kebanyakan kepala daerah berasal dari militer.
Diskusi mengenai supremasi sipil merupakan hal yang perlu direfleksikan karena sipil juga memiliki andil terhadap penggembosan supremasinya sendiri. Penggembosan terhadap supremasi sipil tidak ujug-ujug menjadi persoalan karena Revisi UU TNI saja. Selama beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa posisi penjabat (pj) dari TNI-Polri aktif. Begitu juga dengan adanya beberapa perwira TNI-Polri aktif yang menjabat posisi Eselon I di beberapa kementerian selain Kementerian Pertahanan.