Berita  

“Ijazah Palsu Menyeret UGM: Kontroversi yang Guncang Dunia Akademik”

“Ijazah Palsu Menyeret UGM: Kontroversi yang Guncang Dunia Akademik”

Skandal serupa pernah mengguncang Taiwan saat Presiden Tsai Ing-wen dituduh tidak memiliki gelar PhD dari London School of Economics (LSE). Tuduhan itu tersebar luas, namun ditanggapi secara sistematis. LSE merilis salinan disertasi Tsai, pernyataan resmi dari pihak kampus, serta bukti administratif yang menegaskan keabsahan gelarnya. Transparansi meredam fitnah. Sebaliknya, kasus berbeda terjadi di Nigeria. Kemi Adeosun, Menteri Keuangan, terpaksa mundur karena surat bebas wajib militer yang digunakan untuk persyaratan kerja terbukti palsu, meski ia lulusan Oxford. Dunia akademik dan publik Nigeria tidak memberi ruang untuk kompromi. Pelajaran dari dua kasus ini jelas: kampus harus hadir dalam krisis integritas, bukan sebagai penonton. Jika bersalah, tanggung jawab harus dijalankan. Jika difitnah, maka pembelaan harus setajam hukum dan seterang data. Menutup Luka, Menjaga Marwah Mempertanyakan keabsahan ijazah seorang presiden yang sudah mengakhiri masa jabatannya adalah cerminan rendahnya kualitas debat publik kita. Ketika tak mampu menyerang kebijakan, sebagian politisi menyerang kelulusan. Ini menandakan matinya kritik substantif, dan bangkitnya demokrasi ilusi. Sayangnya, ruang digital telah menjadi ladang subur bagi produksi kebohongan. Algoritma media sosial membuat fitnah lebih mudah viral daripada klarifikasi. Hoaks bekerja seperti virus—menular cepat di tengah publik yang malas membaca dan mudah percaya. Menurut Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom , institusi akademik adalah pagar pertama demokrasi. Ketika kampus diremehkan, dilecehkan, bahkan difitnah, dan tak mampu membela diri dengan keberanian, maka publik akan kehilangan rujukan kebenaran. Yang tersisa hanyalah opini yang saling bunuh di medan kebisingan. UGM memiliki dua pilihan: membela martabat atau membiarkan fitnah mengoyak sejarahnya. Jika ini fitnah, maka harus ada pertanggungjawaban hukum. Jika ini benar, maka UGM wajib introspeksi dan melakukan perombakan total. Apa pun kenyataannya, kampus tidak boleh diam. Karena ketika cahaya kampus padam, maka gelapnya republik akan panjang. Apakah kita rela negeri ini menjadi gelap gulita? Dr. Arfanda Siregar, M.Si Ketua Akademik Senat Politeknik Negeri Medan, pernah kuliah di UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *