
Maskapai Garuda Indonesia (GA), yang katanya sebagai flag carrier Republik Indonesia, sedang sesak napas karena neraca keuangannya terus minus berkelanjutan, meskipun secara-terus menerus disuntik APBN dengan program PMN maupun bentuk lain melalui kebijakan fiskal. Namun kebijakan fiskal dan nonfiskal APBN tersebut tak kunjung bisa meningkatkan pangsa pasar dan pendapatan GA, baik domestik maupun internasional karena kondisi finansial GA memang sudah amburadul stadium lima.
Sementara itu dilihat dari laporan keuangan GA kuartal 1 tahun 2025 kerugian di saja sudah mencapai Rp 2,42 triliun atau naik 41,37% dibanding periode yang sama tahun lalu sekitar Rp 1,69 triliun. Meskipun pendapatan menurun, beban operasi dan keuangan tetap tinggi.
Kerugian pada semester 1 tahun 2025 patut diduga akan berlanjut di semester 2, mengingat persaingan dengan maskapai dalam negeri juga semakin sengit dan daya beli publik juga turun. Begitu pula di pasar regional, GA juga semakin suram kalah bersaing dengan maskapai asing, baik yang low cost maupun full service. Ditambah lagi pemerintah kembali menambah jumlah bandara internasional menjadi 34 bandara, yang secara tidak langsung mengurangi pangsa pasar GA dan anak usahanya Citilink (QG) karena maskapai asing pesaing bisa terbang langsung menuju 34 kota tanpa terkena asas cabotage. Dari Changi mau ke Wonosobo bisa langsung ke Bandara A Yani Semarang tanpa penumpang harus ke Bandara Soekarno-Hatta dan diangkut GA atau QG ke Semarang, misalnya.