
Latar Belakang
Di tengah riuh rendah notifikasi WhatsApp yang terus berdering setiap hari, Idul Fitri yang dahulu lekat dengan tradisi mudik, jabat tangan, dan silaturahmi dari rumah ke rumah, kini telah beradaptasi dengan pola komunikasi baru. Kemajuan teknologi yang kian pesat tak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga mengkonstruksi makna kebersamaan dalam merayakan hari raya.
Perubahan dalam Komunikasi Digital
Idul Fitri kini tak lagi sekadar tentang gemerisik langkah kaki menyusuri jalan-jalan kampung atau aroma opor dan ketupat yang semerbak memenuhi udara. Idul Fitri kini telah bertransformasi menjadi mosaik komunikasi digital: ucapan selamat hari raya dikirim lewat pesan broadcast di WhatsApp dan Telegram, amplop THR berganti menjadi kode QR, dan sungkem secara fisik yang menjadi tradisi beralih ke panggilan video.
Transformasi Budaya
Perubahan ini bukan sekadar pergeseran media, tetapi juga mencerminkan transformasi budaya. Dalam teori mediatisasi, Couldry dan Hepp menyebutkan bahwa teknologi bukan lagi alat pasif, melainkan agen yang membentuk ulang makna tradisi. Silaturahmi fisik yang dulu dianggap sakral perlahan tergeser oleh efisiensi dunia virtual. Namun, apakah esensi “memaafkan” dan “kebersamaan” tetap utuh ketika direduksi menjadi sekadar emoji tangan terkatup atau pesan templatis di grup keluarga?
Penutup
Idul Fitri dalam Pusaran Komunikasi Digital tidak hanya menggambarkan pergeseran teknologi, tetapi juga menandai evolusi budaya yang lebih dalam. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah transformasi ini memperkaya atau malah mengancam esensi nilai-nilai yang kita perjuangkan selama ini.