
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Kita hafal kalimat itu, seolah mantra pembenar atas ritus tahunan yang diselenggarakan dengan penuh gegap gempita. Setiap tahun, tim khusus dibentuk, anggaran khusus digelontorkan, dan diskusi formal maupun informal dimulai dari meja akademisi hingga ruang politikus untuk menelisik siapa yang layak menyandang gelar “Pahlawan Nasional”.
Namun, pertanyaannya apakah penghargaan itu semata bentuk penghormatan, atau sudah berubah menjadi upaya simbolik yang kehilangan makna sejatinya? Ketika agenda ini menjadi rutinitas tahunan yang nyaris sakral, apakah kita sedang menjaga memori kolektif, atau justru menguliti masa lalu tanpa tahu arah masa depan? Negara ini tampak seperti orang tua yang gemar membuka album lama, namun lupa membeli peta baru.
Pemberian gelar pahlawan nasional di Indonesia telah mengalami institusionalisasi, suatu bentuk pembakuan yang nyaris menyerupai birokratisasi atas memori. Lembaga yang terlibat bukan hanya Kementerian Sosial, melainkan juga tim peneliti, sejarawan, tokoh masyarakat, hingga lembaga legislatif dan eksekutif.





